Beberapa waktu berlalu, dipenghujung tahun 2007 hingga saat ini beberapa kejadian menimbulkan pertanyaan pada saya. Apa makna profesionalisme sebenarnya ? Profesi-profesi ini dikenal sebagai profesi yang mulia beberapa periode lalu. Namun, sepertinya (bagi saya sebagai awam) dengan semakin banyaknya peminat, semakin mahalnya biaya kuliah membuat sebagian orang pada profesi ini dan bahkan profesi lain di institusi tempat dia bekerja melakukan penyalahgunaan kepercayaan dari penggunanya.
Profesi yang saya sebut diatas adalah dokter dengan institusi didalamnya adalah rumah sakit. Di kota sebesar "Surabaya" mana mungkin anda akan kesulitan menemui seorang dokter ahli (kecuali mau bayar mahal di praktek atau rumah sakit kelas elit). Yaah, inilah kenyataan.
Beberapa dokter spesialis yang memang sudah dijadwalkan hadir di poli onkologi RSUD Dr. Soetomo misalnya, bisa saja tidak hadir dengan alasan sepele : anaknya wisuda, dokternya ikut seminar ke luar kota dan akhirnya di poli hanya tinggal dokter PPDS. Padahal jelas bahwa pada kasus-kasus tertentu keputusan dari dokter spesialis sangat dibutuhkan. Dengan tidak bermaksud meremehkan media komunikasi via hp, tapi bagaimana dokter bisa memutuskan tanpa adanya medical record yang bisa digaransi akurasinya. Kalau ini, ya memang saya meremehkan model medical record RSUD Dr.Soetomo memang.
Berbicara soal medical record, bukankah sesuai poster yang ditempel di sebagian besar dinding ruang rawat inap RS tersebut sudah jelas bahwa pasien berhak mendapatkan semua dokumen berkaitan dengan hasil pemeriksaan, berhak mencari opini dari dokter lainnya dengan sepengetahuan dokter yang merawat. Namun pada kenyataannya ? Mana bisa. Dari wawancara dengan beberapa pasien dan keluarga pasien, bahkan ada yang satu hari menjelang operasi meminta hasil pemeriksaan rontgen dan USG namun diketahui malah tidak berada ditempat alias hilang. Ada juga yang hasil pemeriksaan laboratoriumnya raib entah kemana. Kalaupun ada, apakah hasil pemeriksaan ini bisa diminta pasien (mengingat, pasien sendiri yang mengeluarkan biaya untuk pemeriksaan tersebut). Sebagian besar pasien menyatakan: tidak pernah meminta, sisanya menjawab : bisa, tapi sulit atau hanya diberi rangkuman hasil pemeriksaan (bukan hasil pemeriksaan asli dari dokter, dan itupun hanyalah salinan, yang kadang tidak jelas, bahkan harus bayar lagi).
Jika memantau lebih dalam di ruang-ruang rawat inap, dan perhatikan setiap pasien yang pulang. Berapa banyak pasien pulang tanpa menyisakan obat infus ? Artinya saat membeli obat infus, selalu berlebih, tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Apakah paramedis tidak diajari tentang estimasi kebutuhan dan efisiensi ?
Ini nih, belum lagi ditambah dengan urusan administrasi rawat inap. Wah, susah bener deh pokoknya... saya aja yang coba menelusuri prosedur pengurusan rawat inap askes di Soetomo merasakan beberapa hal ini :
- Informasi tidak jelas
- Kemana-mana jauh banget
- Petugasnya "agak" ketus
Kalau pasien dan keluarganya dari perantauan, gimana donk nasibnya ?
Dengan sebegitu rumitnya penderitaan yang dialami orang "tidak kaya" yang butuh perawatan medis atas sakit yang dideritanya. Apakah dokter kini hanyalah sebuah gelar ? Ataukah rumah sakit hanyalah institusi bisnis semata ?
Sebuah sumber menyatakan bahwa dari hasil riset yang dilakukannya, diketahui bahwa sekitar 30 - 60% pendapatan dokter berasal dari farmasi ? Fenomena apa ini ? (Sudah rahasia umum sebenarnya). Andaikan saya seorang dokter yang "matrealistis", wah jelas saja saya akan berbaik-baik pada farmasi dan pasien hanyalah sambilan ? Berapa banyak ya, yang bersikap seperti itu? Dan apa yang terjadi dengan pasien ? Apakah mengikuti kongress dan seminar adalah bentuk profesionalisme dokter dibanding dengan merawat pasien ? Bagaimana batasan etika kedokteran ? Ataukah ini demi sebuah kebutuhan yang harus dimaklumi oleh segenap masyarakat ?
sumber : http://suhermin.blogspot.com/2008/01/profesionalisme-etika-atau-kebutuhan.html
Selasa, 14 April 2009
Profesionalisme Dokter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar